Oleh ; Agassa Salama
Memaknai kehidupan agar lebih berarti dalam dentang detik yang terus bergulir, merupakan satu mimpi diantara beribu ribu mimpi lain yang terus aku rangkai untuk membentuk sebuah rantai impian yang merupakan silabus pemberi arah dalam perjalanan hidupku, masa lalu yang selamanya akan menjadi bagian hidupku, dan masa depan yang entah apakah masih mau untuk menunggu, merupakan bagian bagian yang melatarbelakangi munculnya semua renungan ini, yang akhirnya memberikan sebuah konklusi kesadaran bahwa aku tidak mengetahui pasti siapakah diriku saat ini dan tak mampu lagi mengontrol secara penuh naluri yang ada pada hati.
Dia masih berada disana, ditempat dan waktu yang sama selama beberapa hari ini, yaitu dikala matahari terbit, padahal aku tahu pasti itu bukanlah tempat yang tepat untuk menikmati anugrah ilahi yang punya nama lain mentari, dan diiringi dengan coretan coretan yang terus bergerak diatas buku kecil yang dipegangnya,entah telah membentuk berapa ratus untaian kata, aku tak tahu pasti dan akupun tak dapat sedikitpun menerka apa yang dia tulis selama berada di tempat itu, dengan mimik muka yang selalu datar dan muluttrus membisu. dia adalah Hisyam…yaa anak yang beberapa bulan lagi merayakan sweet seventeen itu adalah Hisyam, sosok santri yang mengingatkan aku dengan figur salah seorang sahabat nabi, Abu dzar al-ghifary.
Sudah beberapa bulan ini aku mengamati gerak geriknya, tegas dan bersahaja, kadang berkobar kobar jika merasa bahwa ada sesuatu yang tidak sesuai dengan yang semestinya, terutama sekali perihal perihal yang berkaitan masalah hukum agama, sangat aneh memang ketika hampir semua anak diusianya sedang terfokus dalam perkembangan remaja yang dibuai dengan angan2 indah bernama cinta, dia sama sekali tidak kenal istilah itu didalam kamus hidupnya, atau mungkin kata cinta memiliki penafsiran yang berbeda baginya. dia baru akan siap siaptidur ketika teman temannya yang lain sudah bercengkrama dengan mimpi mereka, dan sekitar setengah jam sebelum adzan subuh menggema, aku temukan dia sudah tersungkur sujud di pojok mushalla pondok pesantren ini, seorang anak yatim piatu yang dipungut dan diasuh oleh kyai Sanusi dengan segudang sifat sifat menawan yang dia miliki.
“Pak ustadz, pak ustadz… ada banyak orang kampung di halaman depan, datang sambil marah marah, memaki maki dan menyebut nyebut nama hisyam..”
aku terkaget saat sedang mengajar di diniyah lailiyah, kitab hadist bulughul marom seketika itu juga aku tutup tanpa rutinitas do’a kafaratul majlis seperti biasanya, tubuh ini seketika bergegas ke halaman depan pesantren yang sudah dipenuhi massa orang orang kampung, beberapa santri serta kyai pengasuh pondok sendiri sudah berada disana mencoba menenangkan massa yang kelihatan emosinya sangat meluap luap.
“Mana hisyam.. bawa anak itu sekarang juga kesini, anak tak tahu diuntung…
Cincang saja langsung… hajar saja… santri kok kelakuan kayak tahi…”
Sumpah serapah berhamburan terdengar bagai hujan deras yg diiringi guntur guntur yang bergelegar, sangat memekakkan telinga…
pak kyai Sanusi, pengasuh pesantren al-huda, satu satunya pondok salaf di wilayah ini dengan tenang coba menenangkan massa, “ ada apa ini bapak bapak? Tenang dulu, tenang dulu…bicara yang jelas ada apa ini sebenarnya..?”
“pak kyai..santri bapak yang bernama hisyam telah memperkosa gadis di dusun kami?
Kami datang untuk meminta pertanggung jawaban…”
Aku kaget dengan perkataan salah satu orang kampung itu, Hisyam memperkosa gadis dusun ? sangat tidak masuk akal setelah aku sempat mengikuti gerak geriknya belakangan ini, tapi siapa yang tahu tabiat manusia sebenarnya kecuali yang ESA.
“Tenang bapak bapak…hisyam yang mana? dan siapa gadis itu ? mari kita bicara baik baik, yang benar tidak akan pernah kita tutup tutupi meski itu sangat pahit dan memalukan buat kami, bapak bapak bisa pegang ucapan saya.” Kata kyai Sanusi.
“Seorang santri pak kyai yang bernama Hisyam telah memperkosa anak gadis saya, si Aisyah… dan satu hal pak kyai, saya ini tidak bicara bohong, anak saya sendiri yang bilang, dan saat ini dia telah mengandung dua bulan”. seorang bapak dengan suara penuh kemarahan berusaha untuk menjelaskan latar belakang kejadian yg ada ini.
Sontak pak kyai kaget ketika sadar bahwa yang dimaksud adalah hisyam si Abu dzar al-ghifary, salah seorang diantara santri kesayangan beliau.
tiba tiba menyeruak seorang santri kedepan, dia adalah Hisyam, sambil berkata “aku adalah hisyam yang bapak bapak maksudkan”. Aku terkaget ketika menyadari tindakan bodoh anak ini, tapisudah terlambat ketika tanpa sebuah komando, puluhan tangan tangan kekar sudah mendarat di wajah dan tubuh hisyam, pak kyai Sanusi berteriak teriak mencoba menenangkan, bahkan sebagian santri santri sudah turun tangan mencoba melerai, tapi situasi makin tidak terkendali bahkan berujung pada perkelahian massal antara santri dan warga kampung.
Duaarrr duaarr duarr… suara tembakan terdengar beberapa kali membahana di udara, massa mulai bubar ketika puluhan aparat keamanan tiba2 datang sambil memukulkan tongkat kearah kerumunan perkelahian, warga kampung berhamburan menyelamatkan diri, dan beberapa diantaranya ditangkap polisi, dalam hatiku langsung terucap kata hamdalah sebanyak banyaknya, karena untung tadi aku sempat menelepon polisi tepat setelah mengetahui ada gelagat buruk yang akan terjadi, suasana berhasil dikendalikan dengan baik oleh aparat keamanan, para santri yang terluka segera mendapat pertolongan, dan… mata ini tak kuasa berkedip ketika melihat sosok hisyam yang tersungkur bermandikan darah diseluruh tubuhnya, tanpa aku sadari tubuh ini bergerak menyongsong tulang berbungkus sedikit daging dan kulit yang tergolek lemah tersebut sambil berteriak teriak meminta bantuan.
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Sapardi Djoko Damono)
Gerimis terus mengguyur area pekuburan umum di desa kecil ini sejak siang hari tadi,padahal saat ini sudah mulai memasuki bulan juni, mungkin langit turut berduka cita mengantar kepergian sosok yang aku tahu dengan pasti sangat mencintai dan rindu akan Tuhannya, keadaan berangsur angsur mulai tenang kembali, tapi yang jelas penyesalan mungkin akan terus menghantui perasaan beberapa orang, khususnya kyai Sanusi ,pihak pesantren dan para warga kampung atas kejadian yang menyebabkan meninggalnya seorang santri di pesantres al-huda.
Gundukan tanah itu masih basah, akuberdiri menatapnya bagai sebuah patung batu tanpa makna, sambil tanganku bergetar memegang sebuah buku catatan kecil milik hisyam yang didalamnya terdapat kisah sebuah cinta yang sederhana. kasus penyerangan massa ke pesantren satu minggu yang lalu telah terungkap, bukan Hisyam, dari awal naluri hati ini sudah berkata lantang tidak mungkin si Hisyam melakukan hal bejat seperti itu, dan intuisi ini ternyata tidak salah, kemaren putra sulung kyai Sanusi si Burhan di ciduk oleh polisi beserta tiga orang komplotannya, mereka lah yang ternyata memperkosa Aisyah ramai ramai, dan saat itu si Hisyam memergoki tindakan amoral mereka, tapi tidak mampu berbuat banyak untuk mencegahnya, pengakuan Aisyah bahwa Hisyam yang memperkosa dia ternyata semua adalah sandiwara yang skenarionya dibuat oleh seorang sutradara handal, si Hisyam itu sendiri, dan tahukah kamu, saat saat dia menyendiri beberapa waktu yang lalu disetiap mentari terbit, setelah aku sadari itu adalah waktu pembuatan script sandiwara tersebut, masih terekam jelas di memori ini seluruh cerita yang mengalir dari bibir mungil Aisyah, tentang kejadian pemerkosaan yang menimpa dirinya, tentang permintaan Hisyam agar menuruti seluruh scenario yang dia buat demi kemaslahatan bersama katanya, bahkan cerita cerita tentang Hisyam sendiri dan tentang mereka… ahh.. ternyata kesimpulanku dulu bahwa Hisyam itu beda dengan anak2 muda yang lain itu salah, bahwa Hisyam itu tidak mengenal kata cinta itu salah, sebaliknya dia telah memahami makna cinta itu mendekati makna utuh menimal menurut kebenaran yang dia yakini.
Bulan juni, tidak ada yang istimewa bagiku di bulan ini, tapi kenangan tentang seorang santri akan membuatku terus mengingatnya, berfikir demi kemaslahatan, atau paling tidak mencegah kemudlaratan (bencana) yang lebih besar terjadi, merupakan alasan Hisyam membuat sandiwara yang telah mempertemukan dia lebih cepat dengan Sang Pencipta, dan aku sendiri sempat berpikir entah bagaimana jadinya kalau sedari awal warga kampung tahu bahwa yang memperkosa adalah anak dari Kyai pengasuh sendiri, mungkin mereka tanpa berpikir panjang akan membakar seluruh bangunan pesantren ini, pesantren yang sangat dicintai Hisyam, juga merupakan keluarga satu satunya yang dia miliki, tapi saat ini amarah warga telah hilang, cinta tulus dan sederhana Hisyam terhadap pesantren telah meluluhkan hati mereka, tinggal aku yang masih sering termenung, mungkin sampai bulan juni ini lewat.
tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
(Sapardi Djoko Damono)
Kairo, 17 November 2008
Di kala malas belajar
Disaat kreatifitas hilang
Tuesday, 18 November 2008
Hisyam Dalam Cinta Yang Sederhana
Posted by Ahmad Agus Salim at 11/18/2008 07:53:00 pm
Labels: Cerpen, My Zone-My Writings
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment