Banyak orang gagal tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan kesuksesan saat mereka menyerah . T A Edison.

Thursday, 2 April 2009

Golput, Realitas Berdemokrasi di Indonesia

Sejarah lahir dan perkembangan Golput

Dalam sejarah kemunculannya, Golput pertama kali merupakan istilah bagi sebuah gerakan yang dengan sadar memilih untuk tidak memilih partai manapun (baca ; coblos), dimana hal tersebut merupakan wajah dari bentuk kekecewaan dan perlawananan atas kebijakan pembatasan jumlah partai politik pada masa rezim orde baru (1971). Saat itu, Arif Budiman dan beberapa cendekiawan muda lainnya, melihat sebuah geliat negatif adanya upaya pemerintah untuk mengontrol sistem perpolitikan didalam negeri yang mengarah pada kepentingan penguasa, kemudian mereka meresponnya dengan satu gerakan protes yang menganjurkan untuk tidak mencoblos tanda gambar partai yang ikut pada pemilu masa itu, dan menggantinya dengan mencoblos bagian kertas yang berwarna putih, hingga orang orang yang melakukan gerakan tersebut kemudian dikenal dengan nama golongan putih atau golput.

Fenomena golput sendiri kembali mencuat menjadi buah bibir perbincangan diantara para pakar politik secara khusus dan khalayak ramai pada umumnya, setelah pada pemilu 2004 mereka secara sistematis keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara mencapai 23,3 persen dari total pemilih terdaftar sebanyak 148.000.369, padahal pada pemilu pemilu sebelumnya prosentase golongan ini paling tinggi hanya berkisar diantara angka 10 %, kemenangan tersebut kembali diteruskan dibeberapa ajang PILKADA, hingga terakhir di PILKADA Jawa timur mereka kembali mencapai kemenangan mutlak dengan prosentase diatas 40 %, berdasarkan data diatas ditambah dengan beberapa elemen pendukung, seperti seruan langsung untuk golput oleh tokoh bangsa semacam Gus Dur dan beberapa pihak yang kecewa karena gagal dalam usahanya meng-goal-kan calon independent, juga semakin meningkatnya kekecewaan akan figur figur calon legislatif yang muncul dan krisis kepercayaan yang terjadi terhadap partai partai yang ada, menjadikan banyak pihak memperkirakan bahwa golongan ini akan semakin membludak simpatisannya di pemilu 2009 yang akan datang.

Golput di era orde baru dan reformasi

Dalam realitas terakhir Golput sendiri mengalami perluasan makna menjadi lebih umum dan kompleks dibanding awal kemunculannya di era orde baru, kala itu golput sekedar sebuah gerakan protes terhadap kebijakan pemerintah yang berkuasa, dimana beberapa cendekiawan muda menganggap demokrasi telah dikebiri dan akhirnya melakukan protes politik dengan mengimbau agar mencoblos bagian putih dari kertas suara (tidak mencoblos tanda gambar partai), namun di era reformasi sekarang ini mereka yang disebut golongan putih atau "no voting decision" adalah semua pihak yang memilih untuk tidak memilih semua partai atau kontestan pemilihan umum dengan alasan apapun, baik karena alasan teknis maupun kesalahan administratif, atau memang dengan sengaja tidak memakai hak pilihnya karena sebab dan alasan tertentu, cara yang digunakan juga beragam, salah satunya apabila seorang pemilih berkeputusan untuk tidak hadir saat prosesi pemilihan, meskipun sudah terdaftar didalamnya, maka hal ini dianggap golput, atau hadir dengan mencoblos bagian putih kertas suara atau mencoblos tanda gambar lebih dari satu partai maka hal ini menjadikan kertas suara rusak dan tidak sah, dalam metode ini golput tetap hadir dan mengikuti proses pemilu, kemudian sebagian mereka bahkan ada yang tidak terdaftar sebagai pemilih sejak awal, karena menolak ditulis dan dicantumkan namanya saat pendataan pemilih.

Golput ; gerakan moral, politik dan isu keagamaan

Ketika Gus Dur menyerukan para pendukungnya untuk golput pada pemilu 2009 nanti, banyak pihak berpendapat bahwa hal tersebut tidak akan banyak memberikan pengaruh, dengan asumsi latar belakang yang melandasi seruan tersebut muncul karena personal clash, dan rakyat dianggap sudah cerdas untuk tidak mengikuti ajakan tersebut, namun setahap demi setahap isu tersebut terus berkembang dan diperbincangkan, semakin meluas dalam sebuah koridor bentuk protes pada demokrasi yang sementara ini berlangsung, atau jika bisa lebih spesifik hal itu merupakan bahasa kekecewaan terhadap partai partai dan personal yang ada didalamnya. Golput muncul dari sebuah realitas humanis, gerakan moral akibat sebuah stagnanisasi dari lika liku demokrasi, rasa kecewa bahwa berlangsungnya pemilu sekalipun tidak lagi dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan bangsa kearah yang lebih baik.

Isu politik bangsa Indonesia semakin menghangat saat ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, membuat pernyataan politis mendesak Majelis Ulama Indonesia atau disingkat MUI agar mengeluarkan fatwa haram Golput, yang notabene merupakan salah satu realitas berdemokrasi di Indonesia, pro dan kontra langsung bermunculan menanggapi masalah tersebut, dan pada puncaknya fatwa haram itu akhirnya tetap keluar, Golput sebagai realitas humanis telah dimasukkan kedalam lahan kajian agama, dan mendapat label negatif dengan predikat haram sebagai justifikasinya. Sungguh sangat ironis, saat wacana golput yang pertama kali muncul sebagai suatu respon positif terhadap sebuah sistem negatif yang sedang berlangsung, kini mulai diputar-balikkan posisinya demi sebuah kepentingan politik, jumlah simpatisan golput yang cukup besar tentu saja merupakan objek paling menggiurkan untuk diperebutkan bagi partai partai peserta pemilu, dan tidak dapat dipungkiri bahwa isu isu agama dianggap metode paling relevan untuk menarik simpatisan golongan ini agar kembali menggunakan hak pilihnya.

Golput merupakan sebuah dosa politik

Seiring bergulirnya waktu menjelang pemilu 2009 yang tinggal hitungan bulan, para partai kontestan pemilu juga semakin giat dalam melakukan segala upaya untuk merebut simpati massa, bukan hanya janji manis yang diobral, bahkan wacana wacana negatif juga turut dilemparkan untuk menjatuhkan lawan politiknya, golput sebagai golongan yang memiliki simpatisan tertinggi juga tidak luput dari serangan serangan wacana yang dilontarkan oleh beberapa pihak, hingga mencapai klimaksnya ketika MUI mengelurkan fatwa tentang kewajiban menggunakan hak pilih atau lebih popular dengan istilah fatwa haram golput , dengan menggunakan landasan tersebut bisa kita tafsirkan bahwa golput merupakan sebuah dosa politik didalam pesta demokrasi.

MUI mengklaim bahwa Fatwa haram keluar dengan alasan untuk mendorong partisipasi masyarakat, khususnya umat islam agar terlibat dalam pemilu yang merupakan wahana memilih pemimpin yang dalam perspektif agama hukumnya adalah wajib, saya tidak ingin panjang lebar mendebat fatwa tersebut, karena jika kita berbicara menggunakan sudut pandang undang undang didalam sebuah Negara, maka memilih dalam pemilu adalah hak konstitusional semua warga Negara yang telah memenuhi syarat, dalam hal ini pemerintah juga telah membikin peraturan peraturan yang berkaitan dengan pemilihan itu sendiri, dan disana tidak tercantum peraturan yang menyebutkan warga Negara dilarang untuk golput, atau diberi sanksi karenanya, sebab memilih merupakan hak, dan bukan sebuah kewajiban, maka jika dilihat dari kacamata politik maka terasa sangat lucu ketika muncul sebuah fatwa bahwa golput itu haram.

Golput bukan solusi, dia adalah fenomena dalam demokrasi

Saya sepakat dengan semua pihak yang menyatakan bahwa Golput bukanlah sebuah solusi praktis, karena jika kita memakai perhitungan matematis, sebanyak apapun masyarakat yang golput tetap saja jumlah anggota DPR tidak berubah, presiden masih terpilih dengan perolehan suara terbanyak, pemilu tetap berjalan dengan warna-warninya dan menghasilkan pemimpin pemimpin untuk kurun waktu lima tahun kedepan, maka jika terdapat pihak yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan asumsi bahwa dia dapat mempengaruhi jalan dan hasil pemilu, tentu itu sebuah kesalahan berpikir yang besar, akan tetapi satu hal yang pasti, bahwa keberadaan golput adalah sebuah fenomena dalam sistem demokrasi, dimana eksistensinya tidak dapat dapat dipungkiri, meski secara sistematis dia tidak memberikan pengaruh pada hasil pemilu, akan tetapi gerakan ini dapat memberikan tekanan moril dan sebuah bukti bahwa terdapat kesalahan pada metode demokrasi yang diterapkan atau dalam pelaksanaannya, dan jika jumlah golput sangat signifikan tentunya dia mampu menciptakan opini lemahnya legalitas partai atau person pemenang pemilu.

Bukan golput yang menjadi masalah, tapi sistem dalam negara ini yang harus diperbaiki dan dirubah, golput merupakan orasi diam dalam demonstrasi menghadapi kesalahan dan kerancauan yang terjadi, dimana saat partai partai didirikan hanya untuk mengusung kepentingan peribadi sebagai kendaraan menjadi pemimpin negeri ini, dikala baliho baliho terpampang dengan megah berisi visi misi tiada berisi, dan setelah rutinitas lima tahunan itu berakhir, kondisi rakyat masih tetap sama yaitu sengsara.

Golput bukanlah karena mereka bodoh, atau acuh tak acuh dengan kondisi bangsa ini, tapi dia merupakan bahasa tanpa suara yang sedang menunggu bukti akan janji para elite politik yang selalu berteriak atas nama rakyat, yang tiba tiba diam saat sudah menjadi penguasa, jadi siapa yang salah jika pada pemilu yang akan datang, sebagian besar rakyat akan kembali menjadikan Golput sebagai pilihan ???

Agassa Salama
Akhir mahattah H-8, 12 maret 2009.

0 comments: